

Dimulai pada tahun 1988 di Paris, Martin Margiela—designer Belgia yang lebih memilih anonim—memperkenalkan koleksi Spring/Summer 1989-nya dengan konsep yang terasa seperti performance art melalui model berwajah tertutup dan riasan tegas pada area mata. Peragaan yang memuat esensi dekonstruksi melalui potongan busana yang dibalik, memamerkan potongan jahitan dalam dan potongan-potongan asimetris. Ia membongkar pola tailor konvensional yang kemudian menjadi ciri khas Margiela: “exposed structure” sebagai estetika utama yang terasa seperti arsitektur fashion. Koleksi pria resminya baru lahir pada 1998 sebagai Line 10, namun impact-nya terasa sejak awal—menantang stereotip tailoring yang mapan.

Filosofi Anonim: Saat Karya Bicara, Nama Tak Perlu Ada
Martin Margiela menolak tampil di akhir peragaan, tak pernah diwawancara dan menghindari sorotan media. Baginya, karya berbicara tanpa perlu dikaitkan dengan sosok penciptanya. Prinsip ini tercermin lewat label polos four stiches di Maison Margiela, tanpa logo atau nama. Anonimitas ini bukan sekadar sikap pribadi, tapi juga kritik terhadap industri mode yang terlalu mengedepankan ego dan selebritas—simbol minimalisme ekstrim dan penolakan terhadap branding individual.

Tabi Shoes: Pecahan yang Memecah Konvensi
Pertama kali diperkenalkan Margiela pada runway debutnya di 1989, Tabi shoes terinspirasi dari kaus kaki tradisional Jepang abad ke-15. Desain ini bukan ciptaan mutlak Margiela, namun dalam tangannya, desain ini seperti menjadi simbol perlawanan terhadap standar estetika mode—meninggalkan jejak misterius yang memaksa publik memperhatikan sepatu, bukan si penggunanya. Tabi menjadi ikon yang mengaburkan batas antara fungsionalitas, seni, dan identitas.

Dari Koreografi Fashion ke Jalur Seninya
Setelah dua dekade merombak paradigma mode, Margiela menyatakan mundur dari maison pada 2008. Ia kemudian menyalurkan kecintaannya pada medium lain: seni kontemporer. Penyelenggaraan pameran solonya di 2021 menampilkan karya seperti bola silikon berpita rambut manusia dan lukisan debu—sebuah pertanda bahwa kreativitasnya kini lebih personal, reflektif, dan metaforis.

Evolusi Nama dan Filosofi Kolektif
Label yang awalnya dikenal sebagai Maison Martin Margiela, mencantumkan nama pendirinya. Namun pada tahun 2015, terjadi perubahan penting saat John Galliano ditunjuk sebagai Creative Director, nama brand disederhanakan menjadi Maison Margiela. Perubahan ini menandai transisi dari kepemimpinan tunggal menuju visi yang lebih kolektif dan terbuka, sekaligus menunjukkan bahwa maison ini mampu berevolusi tanpa kehilangan identitas artistiknya.

Dari Margiela ke Martens: Benang Merah Eksperimentasi
Setelah Margiela meninggalkan dunia fashion, semangat bereksperimen diharapkan tetap hidup melalui sosok Glenn Martens—desainer di balik Y/Project dan Diesel. Keduanya pernah mengerjakan koleksi di Jean Paul Gaultier, tempat mereka mengasah cara berpikir yang tak konvensional. Koneksi ini menciptakan benang merah estetik: dekonstruksi, siluet tak biasa, dan keberanian membongkar pakem mode secara radikal.

Penulis: Denny Steven
